Saham-saham perusahaan teknologi naik secara fantastis. Saham Nvidia melonjak hingga 29 persen karena permintaan produk infrastruktur kecerdasan buatan (AI) melonjak. Nvidia memproduksi unit pemroses untuk beberapa keperluan, seperti gim, otomotif, dan komputasi seluler. Harga saham Microsoft dan Alphabet juga naik karena nilai pasar keduanya menjadi 250 miliar dollar AS setelah pendapatan kuartal pertama tahun ini masing-masing mencapai dua digit.

Samsung Electronics, pembuat cip memori terbesar di dunia, yang kelimpahan order karena pengembangan AI, juga melaporkan laba operasional melonjak 932,8 persen pada kuartal pertama yang berakhir Maret. Analis mengatakan, mereka melihat keuntungan dari bisnis memori NAND Samsung akibat dari permintaan untuk komputasi AI.

Belum lagi laporan dari berbagai perusahaan teknologi yang menyebutkan, mereka telah mengucurkan investasi dalam jumlah besar di kecerdasan buatan. Alphabet, Amazon, Microsoft, dan Meta—seperti dikutip Financial Times—secara total menggelontorkan hingga 188 miliar dollar AS tahun ini.

Angka ini 40 persen lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Produsen mobil listrik Tesla juga ikut berinvestasi di kecerdasan buatan sebesar 1 miliar dollar AS pada kuartal pertama tahun ini. Perusahaan lain juga berinvestasi di kecerdasan buatan.

Kita kemudian bertanya, siapakah di antara mereka yang menjadi pemenang ketika mereka berlomba di kolam yang sama? Sejak pengumuman ChatGPT pada 30 November 2022, hampir semua perusahaan menengok ke bisnis kecerdasan buatan. Mereka meninggalkan ”mainan” lama, yaitu metamesta (metaverse), yang semula digadang-gadang sebagai mesin bisnis baru.

Ketika semua masuk ke bisnis ini, kita pun kemudian tergerak ingin tahu siapa yang akan menjadi raksasa dalam bisnis ini, secara dalam bisnis teknologi ada prinsip pemenang akan mengambil segalanya (winner takes all). Pemain lainnya akan terkapar hingga berdampak panjang. Jika demikian, kecemasan akan terjadi gelembung (buble) dalam investasi kecerdasan buatan (AI bubble) sangat wajar.

”Apakah kita benar-benar sedang berada dalam gelembung AI dan bagaimana kita bisa mengetahuinya?” tanya seorang pembaca kolom teknologi di The Guardian tentang kebangkitan Nvidia yang tampaknya tak terhentikan. Pembaca mereka pun penasaran dengan berbagai gemuruh isu kecerdasan buatan sejak dua tahun lalu itu.

Pengasuh kolom di The Guardian itu, John Naughton, kemudian mengutip proses terjadinya gelembung. Ia mengutip psikiater dan penulis buku On Death and Dying,Elisabeth Kübler-Ross, tentang lima tahap orang-orang berduka saat menghadapi orang yang disayang meninggal, yaitu menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan menerima. Ia kemudian membuat sedikit perubahan untuk proses yang terjadi ketika terjadi gelembung di investasi,

Untuk gelembung investasi, Naughton membuat lima tahapan, yaitu perpindahan investasi, investasi yang melonjak, euforia, ambil untung, dan kemudian panik. Jadi, mari kita lihat bagaimana hal ini sesuai dengan pengalaman kita sejauh ini dengan kecerdasan buatan.

Soal tahap perpindahan. Itu mudah: itu adalah saat ChatGPT hadir. Ketika muncul pada 30 November 2022, dunia menjadi kacau balau. Orang berpindah perhatian dari metamesta ke kecerdasan buatan. Jadi, semua orang menyadari, inilah kenyataan dari semua gumaman seputar AI selama ini! Dan, orang-orang terpesona oleh penemuan bahwa Anda dapat berkomunikasi dengan sebuah mesin dan mesin itu akan membalas (menulis) kepada Anda dalam kalimat-kalimat yang koheren.

Gambaran itu seperti momen pada musim semi tahun 1993 ketika orang-orang melihat peramban laman (internet browser) pertama yang layak, dan tiba-tiba harganya turun. Kemudian Netscape melakukan penawaran umum perdana pada Agustus 1995 ketika sahamnya mencapai harga tertinggi dan gelembung internet pertama mulai mengembang.

Naughton menceritakan tahap-tahap lainnya. Pada tahap akhir, yaitu kepanikan, dia membuat kalimat seperti ini: gelembung akan tertusuk dan kurva pertumbuhan menurun dengan cepat dimulai ketika orang-orang dengan panik mencoba keluar selagi bisa. Tidak jelas apa yang memicu proses ini dalam kasus demam teknologi kecerdasan buatan. Bisa jadi pemerintah pada akhirnya bosan melihat perusahaan-perusahaan besar yang tidak terkendali terus bermain, sementara para investor mulai kehilangan uang.

Bisa juga pemegang saham sampai pada kesimpulan yang sama atau kita akhirnya sadar bahwa teknologi AI sedang dalam proses menciptakan seperti bencana lingkungan atau bencana lainnya. Semua itu akan meledak dengan ciri, yaitu tidak ada lagi yang tumbuh secara eksponensial selamanya.

Mulai Waspada

Laman Futurism memberi informasi yang sejalan. Ketika investor menggelontorkan miliaran dollar AS ke dalam demam AI, para analis mulai waspada terhadap AI bubble yang dapat membuat investor kehabisan tenaga untuk mendanai.

Dalam catatan penelitian yang ditemukan CNBC, analis saham teknologi Richard Windsor menggunakan metafora yang penuh warna untuk menggambarkan apa yang akan terjadi jika gelembung seperti itu pecah. ”Modal terus mengalir ke sektor AI dengan sangat sedikit perhatian yang diberikan pada fundamental perusahaan. Ini merupakan tanda pasti bahwa ketika pertunjukan musik suatu saat berhenti, tidak akan ada lagi tambahan tampilan atau perpanjangan. Pertunjukan musik sudah selesai,” tulisnya.

Bahkan, mereka menyebutkan, bulan-bulan ini yang penuh gejolak bagi perusahaan-perusahaan AI, hal ini menunjukkan adanya minat investor yang tiada habisnya terhadap usaha AI baru. Kesepakatan yang sangat tidak biasa ini menimbulkan tanda bahaya di kalangan investor.

Menurut Windsor, perusahaan bergegas melakukan apa pun yang dapat dikaitkan dengan AI dari jarak jauh. Sayangnya, analis tersebut tidak takut untuk menarik garis langsung antara demam AI yang sedang berlangsung dan siklus demam-demam yang gagal sebelumnya.

Sejumlah besar pakar, termasuk CEO teknologi, investor, dan analis, telah membuat perbandingan langsung apa yang sedang terjadi saat ini (AI bubble) dengan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kemunculan salah satu gelembung pasar saham terbesar dalam sejarah baru-baru ini yang meledak pada awal tahun 2000. Publik tentu ingat bahwa sejumlah negara kemudian terjerumus ke dalam resesi.

Sumber:
https://www.kompas.id/baca/opini/2024/05/01/sejumlah-ahli-telah-mengingatkan-ancaman-ai-bubble

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *