JAKARTA – Serangan ransomware yang didalangi kelompok peretas Brain Cipher terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 bisa digolongkan ke dalam aksi terorisme siber. Namun, penetapan aksi terorisme siber ini ini perlu dikaji secara lebih mendalam dengan melibatkan para praktisi keamanan siber dan pakar terorisme serta persetujuan DPR RI.

“Serangan siber jenis ransomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber dimana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi,” tegas Deputy of Operation Indonesia Security Incident Response Team on Internet and Infrastructure (CSIRT.ID) MS Manggalany kepada wartawan di Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Dia menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden No 82 Tahun 2022 tentang Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital, PDNS 2 termasuk dalam definisi infrastruktur vital. Hal ini karena PDNS 2 diisi oleh ribuan aplikasi pelayanan publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, yang diselenggarakan oleh 282 instansi pemerintah, baik kementerian, Lembaga, serta pemerintah daerah.

Oleh karena itu, gangguan dalam bentuk apapun, kerusakan dan atau kehancuran yang dialami oleh infrastruktur informasi vital PDNS 2 ini dapat dikategorikan sebagai serangan terstruktur (aksi teror) terhadap pemerintah atau negara

Menurut Manggalany, definisi terorisme siber – berbeda dengan kriminalisme siber (cyber crime) – masih terus berkembang dan dinamis mengikuti perubahan motivasi, modus, jenis target, dan dampak dari berbagai serangan siber. Namun, terorisme siber setidaknya harus memenuhi enam unsur (aktor, motivasi, tujuan, sarana, dampak, dan korban), yakni:

Pertama, aktor pelaku baik aktor yang bukan didukung oleh inisiatif negara (non state actor), aktor yang didukung oleh inisiatif negara dan bisa dianggap sebagai pernyataan perang (cyber war), dan aktor yang berafiliasi dengan kelompok separatis.

Unsur kedua adalah motivasi, baik ideologis, sosial, ekonomi atau politik. “Seringkali motivasi ini menjadi kombinasi kepentingan, karena dalam berbagai kasus, sebuah serangan siber dengan alasan terorisme, dilakukan oleh kelompok profesional yang punya motif dan tujuan ekonomi kriminal siber biasa.

Unsur ketiga adalah tujuan, apakah tujuannya untuk alat kampanye memaksakan tuntutan perubahan, keyakinan/ideologis tertentu, dan gangguan sebagai alat untuk memenuhi motivasi tertentu.

Unsur keempat adalah sarana berupa ancaman siber (cyber threat), serangan siber (cyber attack), propaganda siber (cyber propaganda), dan lain sebagainya.

Unsur kelima berupa dampak yang diharapkan oleh si kelompok penyerang berupa cyber power dan cyber violence, berupa disrupsi layanan digital publik, kebocoran data, kerugian ekonomi, ancaman psikologis ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan, hingga kerusakan fisik.

Terakhir, menurut Manggalany, adalah korban, baik kelompok masyarakat sipil, swasta, industri, organisasi, pemerintah, dan non-pemerintah, penyelenggara infrastruktur digital maupun fisik.

Menurut Manggalany, pemerintah harus memetakan motivasi dari serangan siber apabila ingin menetapkan sebagai tindakan terorisme, yakni mengungkap apakah ada kepentingan ideologi atau politik dan ekonomi sekaligus.

“Serangan siber jenis ramsomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber dimana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat sekaligus dicapai dalam satu kali aksi. Apalagi secara teknis, serangan ransomware ke PDNS 2 sudah memenuhi semua kriteria unsur terorisme siber,” tegas dia.

Dia menegaskan, apabila sang pelaku memiliki motivasi ideologi dan politik atas serangannya, maka pemerintah memiliki tantangan baru, mengingat sesuai UU tentang terorisme, penanganan terorisme dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang belum memiliki kemampuan kontra terorisme siber, termasuk pengampu serta penyelenggara layanan di semua sektor infrastruktur vital, termasuk PDNS 2, belum memiliki protokol kontra terorisme siber.

“Perlu ditegaskan bahwa manajemen krisis siber untuk mengatasi serangan terorisme siber berbeda dengan prosedur protokol untuk merespons aksi kriminal siber biasa. Penindakan atas terorisme siber bisa penegakan hukum sekaligus protokol retaliasi, dimana BNPT bisa melakukan serangan ofensif terhadap aktor teroris dan sumber dayanya,” tegas Manggalany.

Konsekuensi tindakan retaliasi siber dapat mengakibatkan implikasi dan komplikasi luas baik secara teknis, diplomasi antar negara – bila penindakan tersebut melibatkan skema lintas batas (cross border), yang harus mempertimbangkan dampak gepolitik, sosial dan ekonomi. Secara teknis, retaliasi siber mungkin saja mendapatkan perlawanan yang mengakibatkan situasi saling serang yang mengakibatkan dampak luas dan korban yang tak diinginkan (collateral damage) karena ruang siber saling terkait.

Menurut Manggalany, karena ini menyangkut suatu kepentingan yang sangat luas dan kemungkinan dampak jangka panjang, apabila Pemerintah mempertimbangkan pilihan yang akan menetapkan insiden serangan Ransomware ke PDNS sebagai aksi Terorisme Siber, maka harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu dan mendengarkan masukan masyarakat khususnya para praktisi Keamanan Siber.

Sumber: https://techno.okezone.com/read/2024/07/07/54/3030976/csirt-serangan-ransomware-ke-pdns-2-tergolong-aksi-terorisme-siber

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *