Belakangan ini, gambar-gambar buatan kecerdasan buatan (AI) bergaya Studio Ghibli marak dibagikan di berbagai media sosial, termasuk di Indonesia. Fenomena ini memantik perdebatan serius tentang hak cipta dan masa depan seni global. Fitur generate picture pada aplikasi generative AI ChatGPT, yang mampu menghasilkan gambar dengan gaya animasi khas Studio Ghibli, menjadi bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini menunjukkan kekuatan inovasi AI. Namun di sisi lain, banyak seniman yang merasa prihatin, karena karya-karya tersebut dinilai melanggar hak cipta dan norma etika. OpenAI, selaku pengembang ChatGPT, kini berada di tengah sorotan.
Generative AI: Bukti kemajuan teknologi
Pada Selasa, 25 Maret 2025, OpenAI resmi merilis pembaruan ChatGPT-4o yang membawa banyak kemajuan signifikan. Salah satunya adalah kemampuan generate gambar dalam berbagai macam gaya karya seni, baik gambar diam maupun gambar bergerak. Tak lama setelah fitur ini diluncurkan, berbagai situs web dan platform media sosial berlomba-lomba memanfaatkan fitur tersebut untuk mengubah foto tokoh-tokoh politik dunia hingga peristiwa penting global menjadi animasi bergaya Studio Ghibli.
Studio Ghibli: Simbol Orisinalitas dan Dedikasi
Studio Ghibli adalah perusahaan animasi legendaris asal Jepang yang berbasis di Tokyo. Studio ini didirikan oleh sutradara Hayao Miyazaki, Isao Takahata, dan produser Toshio Suzuki, setelah mengakuisisi aset Top Crave pada 15 Juni 1985. Dengan reputasi kuat di industri animasi global, karya-karya Ghibli telah dinikmati jutaan penonton di seluruh dunia dan meraih berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Anime Grand Prix, Japan Academy Prize, dan nominasi Oscar.
“Saya tidak ingin membuat film yang tidak ada harapan dan menimbulkan perasaan buruk. Saya ingin membuat film yang mengatakan bahwa hidup ini layak dijalani.”
Hayao Miyazaki
Dalam konteks perdebatan tentang AI, banyak seniman kembali mengutip pandangan keras Miyazaki terhadap karya seni berbasis AI. Ia menyebut seni yang dihasilkan mesin sebagai “penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.” Miyazaki dikenal mempertahankan prinsip animasi tradisional yang digambar dengan tangan, satu bingkai demi satu bingkai sebagai bentuk dedikasi terhadap keindahan hidup.
Plagiarisme atau Inspirasi: Dimana Batasannya?
Perkembangan generative AI memang tidak bisa dihindari, namun bukan berarti dapat digunakan tanpa batas. Diperlukan regulasi dan etika yang jelas dalam penggunaannya, terutama dalam ranah seni. Beberapa prinsip etis yang perlu ditegakkan antara lain:
- Sumber Dataset yang Legal: Dataset yang digunakan untuk melatih AI harus didapatkan secara sah, dengan persetujuan dan penghargaan terhadap karya aslinya.,
- Menghindari Eksploitasi dan Komersialisasi Tanpa Izin: Jangan menggunakan karya hasil generative AI untuk tujuan komersial tanpa izin yang layak dari sumber inspirasi atau pencipta asli.,
- Tidak Mengklaim Hak Cipta atas Karya Terinspirasi: Kreator AI harus berhati-hati dalam mengklaim hak cipta atas karya yang jelas-jelas mengadopsi gaya artistik yang sudah ada.
Tanpa pengaturan yang ketat, penggunaan AI dalam seni berpotensi menjadi bentuk baru dari plagiarisme massal, yang pada akhirnya merugikan para seniman manusia. Teknologi AI menawarkan peluang besar dalam dunia kreatif, tetapi juga membawa tantangan serius terkait hak cipta dan etika. Antara inspirasi dan plagiarisme, dunia harus segera menentukan batas yang adil agar AI dapat menjadi alat yang memperkaya seni, bukan merusaknya.