Menurut Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, adopsi 5G tidak perlu menunggu penyebaran akses 4G merata 100%. Sebab, konsep adopsi, kata Heru, tidak seperti itu.
Akan tetapi, untuk mengimplementasikan jaringan generasi kelima ini juga ada pekerjaan rumah yang tidak sedikit, terutama dari sisi regulasi yang menentukan di mana frekuensi 5G akan digelar.
Kemudian standarisasi seperti apa, operator mana yang boleh selenggarakan 5G. Jadi, kalau mau mulai dimanfaatkan 5G tahun 2021, perlu ada percepatan regulasi. untuk memberikan layanan 5G, diperlukan alokasi frekuensi yang setidaknya harus minimal 100 MHz yang dibutuhkan.
“Kan frekuensi terbatas. Jadi, penggunaan frekuensi bersama bisa jadi pilihan. Tapi, RPP teknis UU Cipta Kerja yang bicara soal frekuensi sharing dan infrastruktur sharing perlu dipercepat dengan pembahasannya melibatkan stakeholders termasuk operator telekomunikasi, para ahli, kalangan kampus, tak ketinggalan ada vendor telekomunikasi,” tuturnya.
Mantan komisioner BRTI ini melihat ekosistem terkini, mayoritas menggunakan spektrum C-Band, di mana sudah ada 136 operator di dunia pakai frekuensi tersebut. Untuk mmWave sudah ada 85 lisensi dikeluarkan, yang mana 24 operator yang membangun jaringan 5G di band 26-28 GHz.
Pemerintah sendiri saat ini baru memantapkan satu frekuensi 2,3 GHz dimanfaatkan untuk menggelar jaringan 5G Di frekuensi baru saja ada tiga operator seluler yang mendapatkan lelang masing-masing satu blok, yaitu Smartfren,Telkomsel dan Tri.
Heru mengungkapkan setidaknya tetap diperlukan 100 MHz dedicated dari frekuensi primer 5G. Misalnya, di Arab Saudi di mana 100 MHz menggunakan frekuensi TDD 3,6 GHz dan 20 MHz FDD di 700 MHz.
“Kita akan salah langkah dan 5G tidak akan berkembang. Kita pernah salah menetapkan 4G di frekuensi 900 MHz yang akhirnya tidak berkembang karena ekosistem tidak ada,” pungkasnya.
Sumber: https://inet.detik.com/telecommunication/d-5309371/indonesia-gelar-5g-tahun-2021-ini-tantangannya?_ga=2.201984601.916841987.1610032458-1909801044.1607699586