Sesuatu yang aneh sedang terjadi di pasar gadget. Seorang perakit PC di Jakarta menceritakan pengalamannya akhir 2025: RAM 16GB yang ia beli seharga sekitar $90 pada September, tiba-tiba melonjak menjadi $270 di November, dan mencapai $350 di Desember. Produk yang sama. Toko yang sama. Tidak ada fitur baru. Hanya harga yang meroket naik 211 persen dalam waktu kurang dari enam bulan.
Ini bukan kasus terisolasi. Di pasar global, DDR5 16GB melonjak hampir 300 persen pada kuartal keempat 2025. Beberapa retailer bahkan memperingatkan pelanggan soal “dramatic 500% surge in RAM prices”. Samsung secara terbuka menaikkan harga DDR5 hingga 100 persen sambil menyatakan stok “habis”. Hari ini, harga 16GB RAM setara dengan sebuah PlayStation 5 analogi yang terdengar absurd, tapi sayangnya akurat.
Yang lebih aneh, harga DDR4 dan DDR5 kini hampir sama, padahal selama bertahun-tahun DDR5 selalu lebih mahal karena statusnya sebagai teknologi baru. Jika ini murni soal pasokan dan permintaan, logikanya tidak akan sesederhana itu. Ada sesuatu yang lebih besar sedang bermain.
Shrinkflation: Taktik Licik yang Tidak Mereka Ceritakan
Ketika biaya komponen melonjak, produsen gadget punya dua pilihan: menaikkan harga secara terang-terangan, atau melakukan sesuatu yang lebih licik. Pilihan kedua kini semakin umum shrinkflation. Harga tetap, tapi spesifikasi diam-diam dipangkas.
Di segmen flagship, ponsel yang dulu datang dengan 16GB RAM kini “turun kelas” menjadi 12GB. Di kelas menengah, 12GB menyusut menjadi 8GB. Dan di segmen budget, 8GB berubah menjadi 4GB kapasitas yang nyaris tidak layak di era aplikasi berat dan AI on-device. Ini bukan hanya soal RAM. Kamera di-downgrade, layar jadi lebih redup, kualitas audio dipangkas. Konsumen membayar harga yang sama untuk produk yang lebih buruk.
Fenomena ini merembet ke laptop. Laptop $600 pada 2026 diperkirakan hanya menawarkan layar lebih redup dan 8GB RAM, padahal pada 2025 harga yang sama masih bisa mendapatkan 16GB RAM. Seorang analis menyebutnya dengan kalimat yang menusuk: “pay more for less” atau setidaknya, pay the same for worse.
HP Murah Tidak Menghilang, Mereka Dibunuh
Ponsel murah tidak menghilang karena “tidak laku”. Mereka menghilang karena secara strategis disingkirkan. Produsen mulai memangkas lini produk kelas bawah, terutama ponsel di bawah $200, karena margin keuntungannya terlalu tipis di tengah lonjakan harga komponen. Seorang eksekutif menyebutnya blak-blakan: “almost impossible to not raise prices.”
Hasilnya? HP murah benar-benar langka. Model-model budget menghilang dari katalog, sementara segmen menengah naik harga tapi justru turun spesifikasi. Kasus peluncuran Redmi K90 dengan kenaikan harga kontroversial menjadi contoh nyata. Bahkan Xiaomi sendiri mengakui situasinya. Sang COO menyatakan, “price increase is imminent.”
Bagi konsumen berpenghasilan rendah, ini bukan sekadar ketidaknyamanan. Ini adalah pengucilan digital. Ketika ponsel murah lenyap, akses ke teknologi dan ke layanan digital penting ikut menyempit. Ini seperti gentrifikasi pasar teknologi: produk murah tersingkir, digantikan opsi mahal yang tidak semua orang mampu beli.
Biang Kerok Sebenarnya: AI yang Rakus
Di balik semua ini, ada satu faktor yang terus muncul: AI data center. Ledakan AI membutuhkan HBM (High Bandwidth Memory) jenis memori super cepat yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan RAM konsumen biasa. Bagi produsen memori, pilihan ekonominya jelas.
Pendapatan HBM melonjak dari 8,4 persen pada 2023 menjadi 20,1 persen pada 2024. SK Hynix meningkatkan produksi dari 30.000 wafer per tahun pada 2023 menjadi 170.000 wafer pada 2025. Samsung menargetkan kapasitas hingga 150.000 wafer per bulan pada akhir 2025. Sementara itu, Micron secara efektif keluar dari pasar RAM konsumen, termasuk merek Crucial sebuah sinyal bahaya yang nyaris tidak disorot.
Analogi sederhananya: ini seperti menutup restoran untuk membuka tambang emas. DDR4 dan DDR5 untuk konsumen mungkin penting bagi masyarakat luas, tapi margin HBM untuk AI jauh lebih menggoda. Produsen memindahkan kapasitas produksi, menciptakan kelangkaan buatan di pasar konsumen. Bukan karena tidak bisa memproduksi, tetapi karena tidak mau.
Siapa yang Untung? Siapa yang Rugi?
Pemenangnya jelas. Big Tech Google, Microsoft, Meta, AWS mampu membayar premium untuk mengamankan pasokan memori 12 hingga 24 bulan lebih awal. Produsen RAM mencatat pendapatan rekor. Apple dan Samsung berada di posisi aman karena kekuatan negosiasi mereka.
Yang kalah? Konsumen biasa. Pembeli HP murah. Perakit PC rumahan. OEM Tiongkok seperti Xiaomi, Honor, Oppo, dan Vivo yang tidak punya daya tawar sebesar raksasa teknologi Amerika. Trade-off-nya kejam: perusahaan AI membayar mahal untuk performa, sementara konsumen membayar lebih untuk spesifikasi yang lebih rendah.
Ini bukan pasar bebas yang bekerja secara alami. Ini adalah redistribusi biaya dari segelintir perusahaan dengan keuntungan besar ke jutaan konsumen yang tidak pernah meminta ledakan AI ini.
2026: Tahun Terburuk untuk Beli Gadget
Jika Anda berharap ini segera berakhir, kabar buruknya: tidak dalam waktu dekat. 2026 diprediksi sebagai “most expensive year ever for consumer electronics.” Kekurangan pasokan bisa berlangsung hingga 2027 atau bahkan 2028, karena membangun pabrik semikonduktor baru membutuhkan minimal tiga tahun.
Pasar smartphone global diperkirakan menyusut 2,1 persen pada 2026, bukan tumbuh. Pasar PC bisa terkontraksi hingga 4,9 persen dalam skenario terburuk. Dell, Lenovo, dan HP diperkirakan menaikkan harga 15–20 persen pada awal 2026. Framework sudah lebih dulu menaikkan harga upgrade DDR5 hingga 50 persen.
Bahkan industri game ikut terdampak. Half-Life 3 dan Steam Machine dilaporkan tertunda, sebagian karena krisis memori. Kedengarannya seperti lelucon internet, tapi efeknya nyata: ketika RAM mahal dan langka, inovasi konsumen ikut terhambat.
Situasi ini makin gelap dengan bocoran email internal Samsung yang menyebutkan bahwa pembatasan pasokan adalah strategi profit, bukan sekadar respons supply-demand. Polanya mengingatkan pada taktik Nvidia: mengontrol suplai untuk menjaga harga tinggi. Pertanyaannya sederhana tapi tajam: ini keserakahan korporat atau kapitalisme yang tidak diatur?
Pada akhirnya, konsumen terasa seperti sandera dari ledakan AI yang tidak pernah mereka minta. Teknologi yang dijanjikan akan membuat hidup lebih mudah justru membuat perangkat sehari-hari semakin mahal dan semakin buruk. Jika HP murah benar-benar menghilang, bukan karena hukum alam pasar tetapi karena ada pihak yang memutuskan bahwa keuntungan AI lebih penting daripada akses teknologi bagi semua orang.
