Dengan punya bandara antariksa sendiri yang rencananya akan dibangun di Biak, Papua, kita akan bisa meluncurkan satelit buatan negeri sendiri, dari negeri sendiri. Sebuah rencana yang sangat ambisius. Untuk apa?
Dikatakan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin, layanan berbasis satelit sudah jadi kebutuhan manusia modern.
“Untuk komunikasi, broadcasting, navigasi, pencitraan dan pemantauan Bumi, itu semua pakai satelit,” kata Djamal, dalam wawancara Blak-blakan detikcom baru-baru ini.
Sebagai gambaran begitu pentingnya satelit sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia zaman sekarang, ambil contoh ketika pada 2017 satelit Telkom 1 mengalami gangguan.
Untuk diketahui, satelit salah satunya juga digunakan untuk komunikasi data perbankan. Nah, ketika satelit Telkom 1 mengalami gangguan, ATM yang memanfaatkan satelit itu menjadi offline dan sekian banyak pengguna tidak bisa terlayani. Itu hanya gambaran kecil betapa manusia modern bergantung pada satelit.
Disebutkan Djamal, rata-rata satelit berumur pendek sehingga dengan cepat akan berganti-ganti dengan satelit yang baru. Maka, kebutuhan akan satelit begitu besar.
“Satelit komunikasi generasi awal (satelit) Palapa misalnya itu umurnya 5 tahun. Kalau satelit generasi sekarang seperti milik BRI, Telkom, PSN itu bisa 20 tahun. Walapun 20 tahun itu dalam hitungan aktivitas manusia tergolong pendek. Belum lagi untuk satelit kecil itu umumnya 3-6 tahun,” rincinya Djamal.
Bisa dibayangkan dengan besarnya kebutuhan masyarakat Indonesia akan satelit, maka besar juga biaya dan upaya yang harus dilakukan untuk meluncurkannya.
Sejak tahun 2000, setidaknya ada 4 satelit karya bangsa sendiri yang dibuat LAPAN dan berfungsi dengan baik. Satelit-satelit buatan lokal ini meluncur di negara asing, karena kita belum punya roket peluncuran.
Nah, dengan dibangunnya bandara antariksa di Biak nanti, kita akan bisa meluncurkan satelit buatan sendiri, menggunakan roket buatan sendiri, dari bandara antariksa di Bumi Indonesia sendiri. Ini bukan hanya tentang efisiensi dan menekan biaya. Lebih dari itu, upaya ini mengantarkan Indonesia secara bertahap menuju kemandirian teknologi sains dan keantariksaan.
Karena butuh dana sangat besar, teknologi tinggi, dan risiko yang juga tidak kecil, LAPAN akan memecah strategi dalam mewujudkan cita-cita tersebut.
“Pertama, LAPAN akan membangun bandara skala kecil di Biak untuk pengujian berbagai roket. Roket peluncur satelit selama ini menggunakan lokasi di Garut, Pameungpeuk. Itu untuk kelas (roket) diameter 40 cm masih aman walau riskan. Kalau ada peluncuran, penduduk harus dievakuasi,” kata Djamal seraya menambahkan bandara antariksa kecil ini ditargetkan selesai pada 2024.
Strategi kedua, LAPAN akan membangun bandara antariksa internasional yang akan bekerja sama dengan negara-negara pegiat keantariksaan seperti China, Jepang, Korea dan India.
Djamal optimistis kehadiran bandara antariksa di Biak kelak akan diminati banyak pihak karena lokasinya yang sangat strategis karena dekat dengan ekuator yang memberikan banyak keuntungan.
“Secara prinsip mereka berminat juga karena mereka juga berkepentingan meluncurkan roket-roket dari wilayah yang dekat dengan ekuator,” sebutnya.
Dia juga mengatakan, bidang keantariksaan ke depannya akan dianggap mempunyai nilai komersial dan menguntungkan sebagai suatu bisnis, sehingga pihak swasta akan ikut masuk meramaikan kemajuan teknologi di bidang ini.
“Contohnya SpaceX yang teknologinya boleh dibilang kini lebih maju dibandingkan NASA. Jadi sekarang sudah bergeser ke swasta. LAPAN juga akan mengupayakan pola penganggaran yang tidak bergantung sepenuhnya pada APBN. Bahkan nanti kegiatan tertentu mungkin sepenuhnya swasta yang ambil alih dan LAPAN sebagai pihak pemerintah jadi regulatornya,” jelasnya.
Sumber : https://inet.detik.com/science/d-4780586/ini-alasan-indonesia-harus-luncurkan-satelit-sendiri